Kisah
ini terjadi sekitar 11 tahun yang lalu sewaktu saya bekerja di salah satu
pabrik di Jakarta, sebut saja pabrik switer. Saat itu jabatan saya di pabrik
sebagai kepala regu (pelatih, teacher). Semenjak bekeja di pabrik ini, entah
kenapa mulut ini susah sekali dikendalikan. Saya selalu marah-marah tanpa alas
an, bicara apa saja, pokoknya segala sesuatu yang tidak penting pun saya
omongin.
Setiap
ada kesalahan sedikit, seperti ukuran kurang atau lebih pendek, maka aku
langsung marah-marah, “ah.. ini sih,. gagal,” celetuk mulut ini yang mudah
sekali menggagalkan kerjaan teman-teman. Dan setiap yang gagal, terpaksa harus
di gulung ulang menjadi benang lagi dan dibuat kembali. Sebaliknya, apabila
ukurannya kepanjangan, saya juga marah. Pkoknya saya selalu ngomel apa saja
karena tidak ada yang pas. Saya juga sering mengeluh, capeklah ngukur, capeklah
ini, itu…. Dan terkadang tidak cukup hanya satu kali ngukur. Padahal, kalau
dipikir-pikir kenapa harus mengeluh, sementara itu semua adalah tugas saya
sebagai teacher.
Saat
itu saya selalu mencari perhatian dari para atasan (bag staf personalia,
mister, misis). Apabila anak buah saya yang kurang memenuhi target, bekerja
sambil mengobrol, atau sambil makan, saya langsung adukan ke mister. Jadilah
anak buah saya itu mendapat masalah, terkena SP (Surat Peringatan). Melihat itu
semua hati saya senang sekali karena setelah itu aku pasti mendapat hadiah atau
bonus (uang jajan) dari mister.
Setiap
hari saya selalu bertingkah laku sombong, sok pamer, hingga saya selalu memakai
semua perhiasan yang saya punya, kalung yang panjang 10 gram, cincin yang
banyak sampai jari penuh, gelang yang gemerincing, seakan-akan took emas
berjalan. Setiap kali mengukur rajutan, saya selalu memamerkan perhiasan itu
kepada anak buah. Ini belinya disana, harganya segini, ini dan itu. Saking
banyaknya ngomong, anank buah yang antri ngukur tidak senang melihat saya. Ada
yang mencibir, ada yang berkata dalam hatinya, tetapi mereka hanya bisa diam
karena tidak ada yang berani pada saya.
Saya
sering bicara apa saja, ngalor ngidul. Bahkan saya sempat ngomong bosan, cape
bekerja disini, anak buahnya (orangnya) bodoh-bodoh, susah diatur. Saya sih,
mau keluar saja, uang saya sudah banyak, perhiasan banyak, hidup saya enak. Diantara
mereka yang mendengar, banyak yang merasa dongkol di hatinya. Jadi orang kok
sombong banget. Ada pula yang bersyukur karena mendengar kalau saya mau keluar.
Suatu
hari, saat saya mau pulang dari pabrik, kalung saya (10 gram) hilang. Saya langsung
mencarinya kemana-mana. Esok pagi harinya, saya menanyakan ke semua pegawai,
ada yang menemukan kalung saya tidak?, pokoknya pagi itu di gemparkan oleh
berita hilangnya kalung saya itu. Saya mencari dengan segala mcam cara untuk
menemukannya. Saya sempat menanyakan kepada orang pintar, siapa yang mengambil
atau menemukannya, lalu saya di anjurkan untuk puasa.
Saya
puasa setiap hari, dan saya pun masih tetap sombong. Saya sampaikan kalau saya
sedang puasa. Seakan-akan sayalah orang yang paling rajin. Padahal, saya sudah
mendapat peringatan dari Allah swt. Namun, kenapa saya masih tetap sombong dan
semakin sombong.
Ada
salah satu teman saya yang selalu menasehati agar tidak bersikap sombong.
Semula saya pun tak pernah menghiraukan nasehatnya. Tetapi, karena kesabaran
teman saya itu dan tanpa mengenal bosan, akhirnya hati saya pun luluh dan
sabar. Allah swt telah membuka pintu hati saya. Dia telah member saya hidayah.
Akhirnya, saya menyesali semua yang telah saya lakukan. Saya bertaubat kepada
Allah, tuhan yang Maha Esa.
Dua
minggu kemudian, saya pindah kerja ke bandung. Bila mengingat semua itu, saya
selalu menjadikannya sebagai pelajaran yang amat berharga. Semoga dari kisah
saya ini, sahabat yang membacanya bisa menjadikan sebagai pelajaran dan dapat
mengambil hikmahnya. Amin!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar